Senin, 03 Januari 2011

Sejarah Pendidikan Indonesia ... !!!


MENELUSURI SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA


Salam sejahtera bagi kita semua.
Kami menyambut gembira atas prakarsa Bedah Buku Nasional Menggali Butir-Butir Pendidikan RM Suwardi Suryaningrat (RM SS).

RM SS yang kemudian bergelar DR Ki Hadjar Dewantara (KHD) adalah Bapak Bangsa yang ajarannya relevan sepanjang jaman untuk diaplikasikan oleh seluruh lapisan bangsa Indonesia. RM SS adalah cucu Sri Paku Alam III, jadi sebagai kerabat sentono Kadipaten Pakualaman selayaknya bangga kemudian “memetri” konsep gemilang RM SS tentang pendidikan dan kebudayaan dalam ‘Pusat Kajian Ajaran RMSS’

Dalam pidato pengukuhan DR HC di UGM, beliau sempat mengupas sejarah pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Sejarah pendidikan tradisi yang terdapat di bumi nusantara itu dipelajari oleh RM SS. Dengan bersenjatakan “Trikon” kemudian konsep-konsep pendidikan RM SS disusun, dipadukan, dilahirkan dan diaplikasikan.

Menulusuri sejarah pendidikan di Indonesia sejatinya sulit karena minimnya keterangan, bukti dan referensi yang mendukung. Kalangan akademisi, perpustakaan tidak banyak memberikan rekomendasi yang kita butuhkan utamanya periode pra penjajahan. Data, manuskrip, prasasti dan barang peninggalan sejarah kejayaan Nusantara banyak diangkut ke luar negeri, hingga tiap penulusuran sejarah di Indonesia mengalami kendala.

Mencermati sejarah Pendidikan tidak dapat lepas dari konteks sejarah Budaya suatu bangsa. Budaya Nusantara termasuk budaya tertua di dunia misalnya tengkorak manusia Sangiran beserta peralatan batu usianya lebih tua dari tengkorak manusia Peking. Prof T. Jacob mengatakan bahwa 2 juta tahun yang lalu Pithecantropus kita telah berkomunikasi linguistik secara terbatas. Bahasa moyang Jawa berkembang secara pelahan-lahan dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka. 

Bahasa protolingua sudah berkembang pada 100 ribu s.d. 40 ribu tahun yang lalu. Perkembangan yang penting terjadi sejak Homosapiens hingga jaman pertanian, dimana hingga saat ini basis masyarakat kita masih bertahan agraris. Pada era ini belum dikenal pendidikan yang tersistem, yang mungkin ada ialah pelatihan ketramplan dengan cara meniru seniornya.

Ketika kita mengagumi karya agung kemanusiaan Candi Borobudur dan Prambanan, tersirat pemikiran bahwa di belakang karya ini tentu ada pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang telah tersistem dengan baik. Namun data tentang sistem pendidikan saat itu belum ditemukan orang selain prasasti dan buah hasil pemahatan. Pendidikan pelatihan tenaga pematung pasti diikuti disiplin tertentu hingga dapat membuat batu tersusun rapi geometris. Patung-patung dari ujung atas hingga bawah di Borobudur seragam bentuk dan tekniknya, padahal masa pembuatannya memakan waktu 3 generasi dan tetap tidak ada deviasi interpretasi seni pemahatan.

Teknologi pembuatan candi kala itu pasti merupakan teknologi garda depan di dunia. Bahkan hingga saat inipun orang masih menobatkan sebagai keajaiban di dunia. Andai candi-candi dibangun pada era sekarangpun tidak mudah direalisasikan dan dengan biaya sangat besar. 

Pantaslah Bung Karno selalu mengagung-agungkan betapa perkasanya bangsa di Nusantara kala itu.
Sesuai apa yang terpahat dalam relief candi, maka pendidikan selain diberikan secara tertulis ada juga secara lisan. Pendidikan lisan baik Hindu maupun Budha bisa berupa dakwah pengajian pimpinan agama atau melalui dongeng, mythos, cerita, legenda secara turun temurun.

Sebelum penjajahan Belanda, sistem pendidikan secara tradisi dilaksanakan di dalam Padepokan, Pawiyatan, Paguron. Pelajaran diberikan kebanyakan secara lisan dan sering diikuti pelatihan kanuragan/kaprajuritan. Dipelajarkan pula pelajaran tertulis (lontar/logam) tentang falsafah, tata krama, budi pekerti, ketata negaraan. Calon murid/siswa aktif mencari guru yang disebut antara lain pendito, panembahan, hajar, dwijoworo, wiku sesuai yang dikehendaki. Siswa yang diterima wajib ngenger (mondok) di paguron dan wajib melakukan tugas-tugas tertentu. Siswa melebur menjadi bagian dari keluarga di padepokan dengan segala perasaan asih asah asuhnya.

Setiap pagi hingga sore hari para siswa mengerjakan tugas pokok yang telah diberikan, utamanya mengelola padepokan. Pelajaran baru diberikan pada sore hari untuk siswa putri dan malam hari untuk siswa putra. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Prof Subalidinata yang mendapat penuturan langsung dari kakeknya yang pernah ngenger di salah satu padepokan di Jawa. 

Cantrik-mentrik dapat menikmati pelajaran secara kondusif karena dalam Padepokan bersatulah suasana keluarga dan perguruan. Hal inilah yang mengilhami RM SS melontarkan konsep Wiyatagriya dalam perguruan Tamansiswa atau dikenal sekolah sistem kekeluargaan (bukan nepotisme).
KHD mengatakan bahwa adanya istilah tugas jabatan tersebut membuktikan bahwa di jaman dulu telah terselenggara perguruan luhur dengan peraturan tata-tertib yang terdeferensiasi. Terbukti para wanita diperbolehkan mengikuti pelajaran di Pawiyatan Luhur kala itu. Di lain pihak pada era 100 tahun yang lalu kaum perempuan di Belanda dilarang mengikuti pelajaran berguru. Dr Aletta H.Jacobs (yang hidup di awal abad XX) adalah pelajar pertama di Belanda yang diperbolehkan mengikuti pelajaran tinggi hingga memperoleh predikat “medika”. Sedang di Indonesia pada tahun 1825 sudah dikenal prajurit putri yang terdidik dan terlatih bernama Nyai Ageng Serang yang gagah berani memimpin pasukan Pangeran Diponegoro. 

Materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan, kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat istiadat, tata krama, perbintangan (misal gubug penceng, panjer sore). Siswa diharuskan mondok/ngenger dalam padepokan, sedang cara pemberian pelajaran kebanyakan dengan bahasa tutur dimana 1 siswa diasuh 1 guru.

KHD sadar bahwa sebenarnya sebelum datangnya penjajah di anah air telah terdapat badan-badan pendidikan pengajaran tradisional yang berlaku di Nusantara. Padepokan, perguruan, pawiyatan, pesantren secara kontinyu telah melaksanakan pendidikan dan menghasilkan putra terbaik. Sebut saja misalnya Ken Arok, Trunojoyo, Untung Suropati, Sutowijoyo (Panembahan Senopati). Dalam Kerajaan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya juga terdapat pendidikan yang secara sistematis diselenggarakan khusus kerabat sentana kraton. Tingkatan pendidikan di keraton misalnya sasono sunu, sasono putra, sasono putri. Dari kancah inilah lahir alumni bangsawan-negarawan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Sultan Ternate, Pangeran Mangkubumi. Berkat pendidikan tradisi beliau-beliau terbuka mata batinnya, merdeka pikirannya, merdeka jiwanya dan merdeka tenaganya. Demikian pula apa yang dialami RM SS sejak pendidikan keluarga, sekolah di Puro Pakualaman, Pondok Pesantren Kalasan dan interaksi dengan elite pemuda Nusantara. 

Literatur pendidikan tradisi menghasilkan karya agung berupa serat Pararaton, Negara Kertagama, Sastra gending, Wulang Reh, Wedotomo.
Sangat disayangkan naskah asli serat-serat tersebut banyak yang disimpan di luar negeri hingga saat ini. Sejarahwan Indonesia sering harus meneliti langsung ke Leiden atau London. Selayaknya Pemerintah berupaya mengembalikan pusaka bangsa tersebut agar bisa kembali ke tanah air.

Sejak kedatangan penjajah Portugis, Inggris dan Belanda, keberadaan kerajaan Nusantara sebagai pusat budaya bangsa menjadi terpinggirkan bahkan semakin lemah dan mati. Utamanya sejarah pendidikan seperti “terputus” selama 350 tahun sebagaimana dilansir oleh Sri Paduka Paku Alam IX baru-baru ini.

Dalam desertasinya KHD tercantum “saya mempunai keyakinan seandainya bangsa kita tidak terputus naluri dan tradisi dan tidak kehilangan garis kontinyu dengan jaman lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita sudah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Bangsa kita pasti sudah mempunyai bentuk, isi dan irama yang lain dari pada yang kita lihat sekarang mulai Taman Anak hingga Universitas. Pendidikan kita sekarang baik yang swasta maupun negeri umumnya merupakan doordruk (cetakan/klise) dari sekolahalam sistem di Belanda. Bahkan cenderung menyimpang menjadi materialis, kolonial, kapitalis dan intelektualis.”

Pada buku pidato sambutan KHD halaman 26 selanjutnya tertulis sbb, Pada jaman beralihnya VOC menjadi Pemerintah Hindia Belanda maka sebenarnya sekali-kali tidak ada perubahan sikap dan tindakan terhadap segala urusan anah air kita. Pada hakekatnya pemerintah Hindia Belanda merupakan konsolidasi dari segala apa yang tadinya dilakukan oleh VOC tersebut. Baru sesudah nampak adanya Kebangunan Nasional pada permulaan abad ke XX, bersamaan waktu dengan mulai tumbuhnya aliran kolonial modern yang disebut “etiche koers” atau politik etis di Nederland barulah nampak adanya perubahan dalam sikap pemerintah kolonial. Sayang hanya mengenai beberapa hal, antara lain yang bertalian dengan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat, hal mana kini akan kami jelaskan lebih lanjut.

Seperti diketahui maka dalam jaman OIC (Oost Indiche Copagnie) bangsa Belanda menganggap tanah air kita semata-mata sebagai obyek perdagangan. Mencari dan mendapat keuntungan materiil yang sebesar-besranya itulah maksud dan tujuan daripada segala usahanya dalam segala lapangan. Tidak lebih dan tidak kurang. Pendidikan dan pengajaran diserahkan sama sekali kepada para pendeta kristen. Kemudian ada instruksi yang menegaskan bahwa kepada pihak rakyat hendaknya pengajaran membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi hanya seperlunya saja dan melulu untuk mendidik orang-orang pembantu dalam beberapa usahanya. Jadi semata-mata guna memperbesar keuntungan perusahaan Belanda sendiri.

Pada jaman Napoleon Bonaparte jatuh kekuasaannya, dan pemerintah Nederland dibentuk kembali (tahun 1816) maka di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda diadakan beberapa perubahan. Diantaranya pada tahun 1818 diadakan Peraturan Pemerintah Pokok, semacam “UUD” (yang disebut Regeeringsreglement, singkatan dari “Reglement op het beleid van de Regeering van Nederlands Indie). Dalam Regeringsreglement (RR) 1818 itu mulai disebut-sebut tentang pemeliharaan pengajaran akan tetapi tidak pernah dilakukan. Baru dalam RR 1854 terdapat pasal-pasal yang mengegnai pendidikan dan pengajaran. Diantaranya dicantumkan pasal 125 yang berbunyi : “Het openbaar onderwijs vormt een voorwerp van aanhoudende zorg van den gouverneur generaal” (Pengajaran negeri adalah hal yang senantiasa menjadi perhatian gubernur jenderal).

Ketetapan ini sungguh baik, tetapi pasal-pasal berikutnya membuktikan jiwa kolonialnya pemerintah Hindia Belanda pasal 126 misalnya menetapkan, bahwa pemberian pengajaran kepada anak-anak bangsa Eropa dibolehkan secara bebas. Pasal 127 berbunyi selengkapnya sedapat-dapat harus ada pemberian pengajaran rendah dari pemerintah yang mencukupi kebutuhan pendiuduk bangsa Eropa.

Teranglah disitu maksudnya jangan sampai ada anak-anak bangsa Eropa tidak dapat pengajaran. Bagaimanakah sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap anak-anak Indonesia? Pasal 128 dalam soal itu menyebutkan untuk rakyat gubernur jenderal diserahi untuk mendirikan sekolah-sekolah. Lain tidak lebih daripada mendirikanpun tidak. Tak ada disebut disitu tentang keharusan, tentang kebutuhan, tentang perlunya ada usaha yang mencukupi dan sebagainya.

Pada waktu itu ada beberapa Bupati mendirikan sekolah kabupaten, tetapi hanya untuk mendidik calon-calon pegawai. Kemudian lahir “Regelement voor het Inlands onderwijs”, lalu didirikan sekolah guru di Solo, yang kemudian pindah ke Magelang, lalu ke Bandung (1866). Dngan berangsur-angsur dapat didirikan “sekolah Bumiputera”, yang hanya mempunai 3 kelas, sedang gurunya seorang dari Kweekschool, dan lain-lainya (pembantu) berasal dari “sekolah Bumiputera” itu juga, sesudah mendapat didikan tambahan.

Maksud dan tujuan dari segala usaha itu tetap untuk emndidik calon-caloon pegawai negeri dan pembantu-pembantu perusahaan-perusahaan kepunyaan Belanda. Maksud dan tujuan tersebut tidak berubah, ketika pemerintah memberi kelonggaran kepada anak-anak Indonesia, untuk memasuki Europeesche Lagere School (ELS) karena yang dibolehkan ialah hanyacalon=calon murid dokter jawa, murid Hoofden School dan Kweekschool. Suatu bukti bahwa pemerintah Belanda semata-mata mementingkan pendidikan calon-calon pegawai negeri, yalah adanya ujian, yang sangat digemari oleh (membanggakan) anak-anak Bumiputera yang disebut “klein ambtenaar sexamen”.

Mungkin pendapat KHD demikian ini yang mengendorkan semangat belajarnya dalam studi di Stovia (Dokter Jawa), kemudian beliau lebih memilih berjuang di lapangan politik bersama Tiga Serangkai. Namun dalam pembuangan (externiran) di negeri Belanda, KHD semakin bulat tekadnya bahwa MODAL yang paling dibutuhkan guna menyongsong kemerdekaan adalah pendidikan nasional. Kemudian di Nederland beliau memperdalam ilmu pendidikan dan memperoleh sertifikat sebagai tenaga pendidik.

Perihal gejala penyimpangan pendidikan nasional KHD telah melansir dalam pidatonya yang kami kutip, Saya mengerti sdr.Ketua bahwa rakyat kita merasa wajib segera atau dalam waktu yang singkat melakukan pembangunan di lapangan pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi tidak ada contoh yang positif, yang lebih baik dan dapat kita tiru. Kita lihat di jaman sekarang masih dipakai bentuk-bentuk “rumah sekolah”, daftar pelajaran yang tidak cukup memberi semangat mencari ilmu pengetahuan sendiri. Karena setiap hari, tiap triwulan, tiap tahun pelajar kita terus menerus “terancam” oleh sistem penilaian dan penghargaan yang intelektualistis. Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tenteram, karena dikejar-kejar oleh ujian yang sangat keras dalam tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya, sebaliknya mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam raport sekolah atau untuk dapat ijazah. Dalam soal ini sebaliknyalah kita para pemimpin perguruan bersama-sama dengan Kementerian PP dan K mencari bagaimana caranya kita dapat memberantas penyakit “examen cultus” dan “diploma jacht” (mengkultuskan ijasah dan diploma).

Pendapat KHD di atas ternyata telah kita alami bersama saat ini. Menjadi kewajiban kitalah untuk mengembalikan pendidikan yang memperkuat jati diri bangsa yaitu pendidikan menuju manusia Indonesia seutuhnya. Bukan pembinaan intelektual semata yang semakin menjauhkan kaum pelajar dari rakyatnya.

Menggambarkan politik etis penjajah, KHD mengemukakan dalam pidatonya : Haluan dari pada sistem pendidikan yang diadakan oleh pihak Belanda seperti tergambar diatas itu, tetap terus mempengaruhi segala usaha pendidikan (di Indonesia), juga yang dilakukan sesudah aliran Ethische politiek atau Etische Koers timbul pada permulaan abad ke XX (dan sebenarnya sebagai akibat “Kebangunan Nasional” pada pemulaan abad XX). Haluan tadi boleh digambarkan sebagai haluan kolonial lunak yang dalam sistem pendidikannya tetap menunjukkan sifat intelektualistis, pula individualistis dan materialistis. Padahal pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat “pemeliharaan” tumbuhnya benih-benih kebudayaan. Juga sekolah-sekolah yang didirikan oleh bangsa kita sendiri sesudah kita menginjak ke dalam jaman Kebangunan Nasional (Kebangkian Nasional) tidak dapat melepaskan diri dari belenggu intelektualisme, individualisme, materialisme dan kolonalisme tadi. Sungguhpun cita-cita RA Kartini (1900) sudah mulai mengandung jiwa nasional dan cita-cita Dr Wahidin Sudirohusodo (1908) sudah membayangkan aliran kulturil, namun organisasi teknik pendidikan dan pengajaran tetap tak berubah. Masuknya anasir kebudayaan ke dalam sekolah-sekolah yang bermaksud mewujudkan perguruan kebangsaan, pula masuknya anasir-ansir agama ke dalam sekolah-sekolah Islam, tidak dapat menghapuskan corak warna jiwa koloal dengan sekaligus.

Saat itu KHD sudah memperingatkan akan adanya reduksi sistem pendidikan nasional. Betapa terkejutnya KHD bila saat ini “mirsani” kondisi pendidikan nasional terkini yang cenderung liberalis. 
Betapa terhenyaknya beliau bila “mirsani” adanya upaya RUU BHP yang tidak berpihak kepada kepentingan pendidikan nasional yang diperjuangkan.

Dalam uraian KHD tersebut nampak jelas bahwa orang tidak boleh memisahkan konteks Pendidikan dan Kebudayaan. Sehubungan dengan itu bila pemerintahbenar-benar berniat memajukan bangsa kita sejajar dengan bangsa lain, selayaknya menyatukan kembali Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan RI.

Perlu kami uraikan disini bahwa ada sebuah kebijakan dari Puro Pakualaman yang sebenarnya sangat membantu kemajuan alam pendidikan di Indonesia. Kebijakan Sri Paku Alam III s.d. ke VII tersebut adalah memberi bekal kepada sentono kerabat Puro PA berupa bantuan dana untuk biaya pendidikan. Kebijakan (kalau tidak boleh kami katakan restorasi) ini memghasilkan terlahirnya Dokter, Insinyur dan Suster pertama di Indonesia dari sentono Puro PA. Kami yakin bahwa kemampuan dan kepandaian RM SS adalah sebagai hasil dari kebijakan Puro Pakualaman tersebut.

Sehubungan hal tersebut kami keluarga besar Tamansiswa siap mendukung dan membantu dengan sepenuh hati apabila nantinya di Puro PA didirikan Pusat Studi RMSS.

Organisasi Tamansiswa saat ini bersifat terbuka menampung dan bekerjasama dengan komponen masyarakat dimanapun yang mempunyai komitmen mengembalikan roh pendidikan nasional ajaran KHD.

Salam sejahtera bagi kita semua.

sumber : http://tamansiswa.org/magazine/pijar/menelusuri--sejarah--pendidikan-di-indonesia.html